[dimuat di harian BATAM POS, 10 Desember 2006]
Matahari sudah tidak lagi melukisi bayang pepohonan liar memanjang hingga di tengah jalan baypass yang sedang saya lewati menuju proyek. Jalan selebar 8 meter masih tanah merah dengan dua jejak roda-roda yang mengeras. Seringkali sepeda motor, sedan, mobil kapsul berplat merah hingga truk-truk besar berkecepatan lebih dari 60 km/jam lalu-lalang, membuyarkan debu-debu yang lantas membungkus saya dan motor saya. Apa boleh buat. Sebab lokasi proyek berada di pertengahan jalan tersebut yang berjarak kira-kira 3 km dari indekos saya.
Saya ingin segera tiba di proyek, meski motor bebek 2 tak keluaran tahun 1975 saya menggelinding tertatih-tatih. Saya khawatir beberapa tamu dari pemerintah daerah bahkan direktur saya mendadak muncul di lokasi untuk meninjau proyek yang saya awasi sejak empat bulan ini. Jangan sampai orang-orang penting itu datang lebih dulu, lantas melihat saya sedang tidak berada di tempat. Bisa berakibat jera mempercayakan saya sebagai pengawas di proyek berikutnya. Bisa-bisa mempengaruhi perjalanan karier saya di saat usia saya baru kepala dua.
Ini proyek uji coba pertama saya. Selama bekerja di konsultan bangunan itu, saya berurusan dengan administrasi, kurir dokumen perencanaan, dan menagih uang kontrak melulu. Karena kekurangan tenaga pengawas lapangan, akhirnya saya yang ditugaskan.
Setiba saya di jalan masuk proyek, tidak terlihat mobil siapa-siapa. Aman, pikir saya. Kecuali sepeda motor bebek 4 tak baru, entah milik siapa. Kemudian saya parkirkan motor di kolong direksi keet, berdekatan dengan tumpukan semen. Tempat paling teduh sebab pepohonan telah disingkirkan oleh buldoser sewaktu pembersihan lokasi proyek, kendati kalau ada pekerja mengambil semen maka motor saya jadi berbedak debu semen.
Di pinggir halaman bangunan yang permukaan tanahnya masih telanjang dan tidak rata tampak Mandor Suryadi tengah bicara dengan seorang pemuda berjaket kulit. Keduanya berdiri dengan sikap kaku. Siapa pula pemuda itu, pikir saya. Tas saya geletakkan begitu saja di atas jok motor, saya bergegas menuju mereka.
Dari jarak 10 meter terlihat air muka Mandor Suryadi tidak menyuguhkan senyum khasnya. Sementara lawan bicaranya menampilkan kening berkerut dan bibir berkerucut. Saya mempercepat langkah hingga setengah berlari. Matahari menjilati kepala dan jaket saya.
“Ada apa, Bos?” tanya saya setelah berjarak kira-kira dua meter dari keduanya.
“Ini lho, Pak Oji. Mas ini minta aku tunjukkan gambar kerja. Padahal sudah aku bilang, gambar kerjanya dibawa bos pemborong tadi malam. Lagian bangunan kita ini kan tinggal dua puluh lima persen lagi rampung. Mas ini nggak percaya. Disangkanya aku bohong. Mau sumpah pocong, aku nggak takut!” jawabnya sambil menoleh ke arah saya. Posisi badannya tetap menghadap pemuda itu. Kicauan burung-burung liar terdengar sayup-sayup.
Saya percaya Mandor Suryadi tidak bohong karena semalam Mandor Suryadi mengirim SMS ke saya. Isinya, mau pinjam gambar kerja yang ada di tempat saya untuk menempatkan setiap titik kuda-kuda. Soalnya tadi malam bos pemborong berencana datang, mengambil gambar kerja untuk menghitung jumlah kayu gording, kayu usuk, reng, dan genteng. Tapi hari ini saya lupa membawanya gara-gara tergesa-gesa datang setelah rampung mencuci sekeranjang pakaian saya sendiri.
Saya berhenti di antara keduanya. Saya menatap pemuda itu. Kebetulan dia sedang menatap saya. Nyala matanya belum reda. Bibirnya menyeringai.
“Mas siapa dan dari mana?”
“Aku dari LSM. Abang siapa?”
“Aku pengawas pembangunan gedung ini.”
“Ooo… gitu.”
“Ya begitu. Mas dari LSM mana?”
“Abang tahunya LSM mana saja?”
“Lho, Anda ini payah. Ditanya kok malah balik nanya.”
“Pokoknya aku mau lihat gambar kerjanya. Apakah terjadi penyimpangan atau tidak. Titik!” tandasnya lantang sembari mengarahkan telunjuk ke tanah, dan melotot ke arah saya. Kuli-kuli yang sedang bekerja spontan berhenti. Mereka menoleh ke arah kami. Mata mereka mengarah ke kami satu persatu. Beberapa dari mereka segera bekerja lagi.
“Misal penyimpangannya apa, Mas?”
“Misalnya … bangunan mengalami retak-retak setelah beberapa bulan diresmikan. Padahal ini, kan, bangunan milik pemerintah daerah. Dananya dari duit rakyat. Itu pasti dampak penyimpangan ketika tahap pengerjaan.”
“Kenapa retak-retak?” tanya saya lirih sambil memutar kepala dan menyodorkan telinga ke arahnya. Sedangkan kedua tangan saya berada dalam saku depan jaket.
“Ya jelas akibat menyimpang!”
“Mas menguasai masalah mekanika bahan dan mekanika teknik, nggak?”
“Mmmm…” Mulutnya mengatup. Mata pun meredup. Dada mundur sepuluh derajat. “Lhooo… jangan cuma menjawab ‘mmmm’ kayak anak kecil mogok makan begitu dong. Menguasai, nggak? Kalau menguasai, kan kebetulan. Barangkali saja ada kesalahan pemakaian jenis atau ukuran bahan untuk struktur bangunan dalam gambar kerja. Kan bisa saja justru gambarnya yang salah, karena arsitek perencanaan memang bukan ahli struktur.”
Dia diam saja. Matanya mengarah ke mana-mana. Sikap kakinya sudah lentur bahkan bergerak-gerak tak menentu. Sikap berdiri Mandor Suryadi pun berubah. Kedua kakinya berposisi santai. Kedua tangannya bertekuk di dada. Air mukanya pun tidak tegang lagi.
“Kalau nggak menguasai, mending belajar berhitung dulu. Buka buku-buku teknik sipil, dan mulailah menghitung struktur. Kalau sudah yakin bisa, kembalilah ke sini. Pembicaraan kita pasti bakal bermutu. Di kantor kami banyak insinyur sipil. Mau belajar di sana, silakan. Baru kelak Mas datang ke sini lagi.”
“Pokoknya…” Nadanya menanjak.
“Ya pokoknya Anda harus nguasai itung-itungan dulu,” serobot saya dengan nada datar dan mengganti sebutan namanya. Nggak usah pakai “mas-masan” lagi, pikir saya.
Dadanya bergerak. Mulutnya menganga. Tapi kata-katanya tersangkut di leher.
“Oh ya, Anda dulu kuliah di jurusan apa? Sarjana apa?”
“Komunikasi. Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.”
“Oooo… cocok sekali Anda bekerja di LSM. Tapi di sini Anda salah jurusan. Coba dulu Anda kuliah di jurusan teknik sipil, kita bisa berdiskusi di sini. Saling belajar.”
“Emangnya Abang dulu kuliah jurusan apa?”
“Seni Tari di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.”
“Lho?”
“Hehehehe… Logikanya dipakai dong, Bung,” kata saya sambil tangan kanan menunjuk-nunjukkan pelipis saya sendiri. Mandor Suryadi tersenyum simpul.
“Sialan.”
Kali ini dia bisa tersenyum. Matahari kian membara di atas kami.
“Sudahlah. Mending Anda pulang dulu.”
“Okelah, Bang. Tapi aku mau ngambil beberapa foto dulu, ya?”
“O, silakan. Asal jangan ngambil sisa genteng atau semen di gudang sana.”
Dia menanggapi dengan senyum lebar seraya merogoh saku jaketnya. Sebuah kamera keluar tapi seutas pita tersangkut di situ. Ada nama sebuah koran lokal.
“Sialan! Anda rupanya wartawan ya!”
“Hehehehe… iya, Bang,” jawabnya dengan cengar-cengir seperti maling kepergok sedang mengangkuti jemuran orang, lantas mengeluarkan kartu persnya.
“Sialan. Mau main tipu-tipuan rupanya. Baru jumpa pertama sudah main tipu.”
“Sorry, Bang.”
“Sorry, sorry, sorry!” sergah saya dengan nada agak tinggi. “Aku kira Anda betul-betul dari LSM seperti dua orang yang kemari dua minggu lalu. Lagaknya ya macam Anda ini. Datang-datang minta diperlihatkan gambar proyek. Soal struktur saja nggak ngerti.”
Dia masih cengar-cengir. Mandor Suryadi ikut cengar-cengir.
“Lain kali hati-hati. Suhu di sini bisa mencapai 40 derajat celsius menjelang tengah hari. Kalau Anda nggak pandai-pandai bawa diri, jangan salahkan kawan-kawan kuli yang akan menjadikan diri Anda sebagai campuran bahan untuk pondasi pagar di ujung sana! Atau dikubur hidup-hidup di lubang bekas galian tambang rakyat di semak belukar itu. Daerah ini masih dikepung hutan belantara. Anda hilang, kawan-kawan koran Anda nggak tahu!”
“Sorry, Bang, sorry.” Wajahnya cengengesan.
“Jangan nipu lagi ya! Aku kenal bos koran Anda. Juga beberapa redakturnya. Aku bisa saja menghubungi bos Anda sekarang juga. Aku akan bilang bahwa anak buahnya di wilayah ini berbuat begini-begitu yang buntut-buntutnya minta duit. Aku bisa tulis surat pembaca dan kusebarkan ke koran-koran lokal. Tamatlah karier kewartawanan Anda!”
Badannya sedikit tersentak lagi ke belakang. Matanya melurus ke arah saya. Mungkin dia berusaha mengamati dan mengingat-ingat sesuatu. Mungkin dia merasa kami pernah bertemu di kantornya. Atau pernah melihat wajah saya muncul di korannya. Tapi mana mungkin. Saya tidak suka diri saya difoto oleh wartawan mana saja. Saya pun tidak pernah tampil di acara-acara besar. Entahlah. Yang jelas, matanya berusaha membedahku.
“Abang ini siapa ya sebenarnya?”
“Nah! Nah! Nah! Ini dia!” jawab saya sambil mengacungkan telunjuk lalu menggoyang-goyangkannya, dan kepala saya mengangguk-angguk. “Ternyata Anda tidak mengenal siapa aku. Gawat Anda ini. Padahal tulisan-tulisanku tentang bangunan dan pembangunan daerah selalu dimuat di koran Anda. Bahkan kantor pusat koran Anda di Pangkalpinang itu, siapa arsiteknya. Rumah bos Anda yang megah di dekat bandara Depati Amir juga. Rumah perempuan simpanannya yang di kawasan wisata Pasir Padi juga.”
“Wah! Wah! Wah! Abang ini ternyata tahu banyak luar-dalam bos kami. Padahal aku sendiri tidak tahu apa-apa. Hebat nian bos kami nyimpan rahasia.”
“Tentu saja, Dul. Anak buahnya hanya mau tahu beres. Apa-apa terjamin.”
Dia tersenyum lebar hingga memamerkan gigi depannya yang tidak lengkap lagi. Mandor Suryadi ikut tersenyum. Barangkali burung punai di persembunyiannya pun tersenyum. Kecuali matahari yang semakin beringas membakar kami.
“Kalau aku butuh gadis penghangat ranjang malamku, bos Anda segera menyediakan. Seketika itu juga! Gadis-gadis dari kantor Anda sendiri. Cantik-cantik, seksi-seksi, dan permainan mereka, waow!” seru saya sambil menyapukan lidah di bibir kering saya, dan mengacungkan jempol. “Hot! Bikin ketagihan!”
Dia tidak menimpali, tapi berpaling sejenak ke arah bangunan yang menunggu pengerjaan struktur atap itu. Lalu menghadap saya lagi, dan menanyakan nama saya.
“Namaku Saroji. Ingat ya. Sa-ro-ji! Bos Anda mengenal nama pendekku, Oji!”
“Oooo… ini rupanya Bang Oji itu! Waduh, baru kali ini aku bisa ketemu langsung dengan penulis yang sangat digandrungi staf-staf wanita di kantor kami, termasuk wanita setengah baya di bagian dapur.”
Sialan, maki saya dalam hati. Maaf-maaf saja. Biar tampang saya serampangan begini, saya masih gampang memilih. Tidak sembarangan!
“Namaku Aleksander, Bang. Cukup panggil Alek. Biar jelek tapi intelek, kata orang,” ujarnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan kanannya.
Segera saya sambut jabat tangannya. Saya mengerti betapa pentingnya arti persahabatan dengan media massa, khususnya koran lokal. Jika ada wartawan yang dianggap cuma menyebarkan gosip murahan, terutama oleh kalangan selebritis lokal atau public figure, sebenarnya konsekuensi logis bagi ‘korban gosip’. Perilaku yang baik dan bersahabat, mana mungkin menjadi bahan berita gosip buruk. Itu menurut prasangka saya saja.
Beberapa kuli melihat adegan jabat tangan kami. Ada yang tersenyum. Ada yang saling menatap sambil cekikikan. Ada yang sama sekali tidak berekspresi. Yang lainnya tidak peduli, kecuali tetap sibuk melakukan pekerjaan mereka.
“Sorry lagi, Bang. Aku mau motret proyek Abang. Sebentar saja. Dua-tiga jepretan,” sela wartawan itu, lantas tergesa-gesa melangkah ke tempat yang diperkirakannya memiliki sudut pandang yang bagus. Mungkin lumayan jadi berita, kendati gagal mendulang duit.
Mandor Suryadi menatap saya. Kedua tangannya telah dimasukkan ke saku depan celananya. Senyum khas kembali melaburi wajahnya.
“Terima kasih, Pak Oji. Untung ada Bapak. Kalau tidak, kami bakal tambah tekor. Minggu lalu harus bongkar dinding yang kurang rapi. Juga ganti kusen depan yang ukurannya lebih kecil lima centi. Bisa-bisa tadi duit bos kami melayang dua juta.”
“Ya, sama-samalah, Bos. Kita, kan, harus bekerja sama di proyek ini. Saling bantu. Tahu sama tahu. He he he he… Yang penting bagaimana lancarnyalah, Bos.”
Kemudian kami berjalan menuju tempat wartawan yang tengah sibuk mengambil obyek. Jarak antara kami dan wartawan itu sekitar 30 meter. Kami harus tetap mengawasi gerak-geriknya. Jangan sampai justru dia yang melakukan penyimpangan.
Selama perjalanan jarak pendek Mandor Suryadi mengungkapkan bahwasannya semalam bos pemborong tidak jadi datang. Kabarnya, bos pemborong sedang sakit gigi. Mungkin giginya harus dicabut lagi. Mungkin kini giginya menyisakan dua geraham belakang. Jadi, gambar kerja masih di ruang Mandor Suryadi, kesimpulan saya. Berarti sumpah pocong tadi cuma trik tradisional untuk menggertak lawan bicara. Sialan!
“Oh ya, ini untuk Bapak. Sekedar mempererat kerja sama kita,” katanya sembari merogoh saku, mengeluarkan beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu, lalu menyelipkannya di saku depan celana saya. Ini kali ke-18 saya menerima ‘bonus’ di proyek.
“Terima kasih banyak, Bos.”
“Sama-samalah, Pak Oji. Sama rata, sama rasa. Ha ha ha ha…”
“Ha ha ha ha ha…”
Saya dan Mandor Suryadi terus melangkah menuju wartawan muda yang sedang sibuk memotret. Satu-dua perkutut liar melintas di atas kepala kami. Sesekali angin kencang menerpa, menghamburkan debu-debu dari tanah telanjang di sekeliling kami. Tak pelak kami harus menutup mata dan hidung dengan telapak tangan. Resiko yang sering kami alami.
“Tadi nama Bapak kok berubah jadi Saroji? Seingatku, Bapak bernama Maroji seperti yang pernah kutengok di kartu nama Bapak dulu. Gelar Bapak Sarjana Muda Pariwisata, kan?” bisik Mandor Suryadi manakala kami kian mendekati wartawan itu.
“Sssstt, nama Saroji dan Maroji beda-beda tipis, Bos. Sama-sama Oji,” balas bisik saya. “Aku tahu nama Saroji dari pergunjingan kawan-kawan insinyur di kantor.”***
0 komentar:
Posting Komentar